Friday, 16 May 2014

Pengaruh Kecerdasan Spiritual Pada Kedisiplinan

PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Generasi kita berada di tengah krisis global yang sedemikian kompleks dan multi-dimensional, yang segi-seginya sudah merambah setiap sudut kehidupan kita, bahkan sampai ke dalam krisis moral, intelektual dan spiritual. Dunia membutuhkan figur yang mempunyai kesadaran diri tinggi dan kepedulian akan lingkungannya demi menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul, terutama dalam segi krisis spiritual. Mengapa? Karena krisis moral yang merambah seluruh aspek kehidupan berasal dan bermuara pada krisis spiritual yang bersumber dari dalam diri kita. Sebenarnya, setiap individu mempunyai pengetahuan dan kemampuan secara rohaniah sebagai bekal untuk menghadapi berbagai persoalan dan permasalahan dalam menjalani kehidupan, yang disebut kecerdasan spiritual.
Sampai saat ini, belum banyak penelitian tentang kecerdasan spiritual manusia yang digambarkan secara lugas. Pelaksanaan dan penerapannya pun juga belum dilakukan secara optimal dalam masyarakat. Itulah salah satu penyebab kurang disiplinnya masyarakat Indonesia.
Pelaksanaan fungsi SQ cukup efektif bila diselaraskan dengan pendidikan. SMA Lazuardi GIS merupakan salah satu sekolah Islam yang dalam pelaksanaannya mengutamakan akhlak dan disiplin. Tentu hal itu tidak serta merta tercapai apabila kecerdasan spiritual siswanya tidak diasah dengan baik. Kondisi itulah yang melatarbelakangi pengambilan judul karya ilmiah ini. Berdasarkan fungsi SQ sebagai penghalang untuk melakukan tindakan yang kurang bermanfaat (dalam kasus ini berkaitan dengan kedisiplinan), maka akan dibahas lebih lanjut mengenai pengaruh kecerdasan spiritual terhadap persepsi dan perilaku disiplin siswa angkatan 11 dan 12 SMA Lazuardi GIS.

   B.  Rumusan masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1.      Apakah tingkat kecerdasan spiritual memengaruhi persepsi siswa tentang kedisiplinan?
2.      Apakah persepsi yang muncul berdasarkan tingkat kecerdasan spiritual tersebut memengaruhi perilaku disiplin yang nampak pada dirinya?

C.    Tujuan penelitian

      Tujuan penelitian ini adalah:
1.      Untuk mengetahui apakah tingkat kecerdasan spiritual dapat memengaruhi persepsi seseorang tentang kedisiplinan.
2.      Untuk mengetahui apakah persepsi yang muncul berdasarkan tingkat kecerdasan spiritual tersebut memengaruhi perilaku disiplin yang nampak pada dirinya.

C.    Manfaat penelitian

Manfaat dari penelitian ini bagi siswa, guru, dan orang tua adalah untuk mengenal lebih jauh tentang kecerdasan spiritual yang dimiliki manusia beserta pengaruhnya dalam hal kedisiplinan. Sekaligus sebagai motivasi untuk mengasah kecerdasan spiritual dan membangun karakter positif agar nantinya tercipta individu yang produktif.


LANDASAN TEORI

A. Pengertian Kecerdasan Spiritual
Pada zaman sekarang, kecerdasan intelektual (IQ) sudah tuntas dibahas oleh para ilmuwan dunia, dan bahkan cukup banyak lembaga yang berperan untuk mengetahui IQ seseorang. Lalu bagaimana dengan kecerdasan spiritual (SQ) yang pertama kali digagaskan oleh Danah Zohar dan Ian Marshall dan didefinisikan sebagai kecerdasan tertinggi manusia?
Secara harfiah, kecerdasan berasal dari kata cerdas, yaitu sempurna perkembangan akal budi untuk berpikir dan mengerti. Sedangkan spiritual berasal dari kata spirit yang berasal dari bahasa latin yaitu spirtus yang berarti nafas. Dalam kamus psikologi, spirit adalah suatu zat atau makhluk immaterial, biasanya bersifat ketuhanan menurut aslinya, yang diberi sifat dari banyak ciri karakteristik manusia, kekuatan, tenaga, semangat, vitalitas energi disposisi, moral atau motivasi. (Susanti, 2006).
 Text Box: 3Danah Zohar dan Ian Marshall, dua tokoh yang pertama kali mengemukakan kecerdasan spiritual, mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai  kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan nilai dan makna. Juga disebut sebagai kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup seseorang dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya. Oleh karena itu, kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan tertinggi manusia. Kita diarahkan, bahkan ditentukan oleh kerinduan yang sangat manusiawi untuk menemukan makna dan nilai dari apa yang kita perbuat. Kita merasakan kerinduan akan sesuatu yang bisa kita capai, sesuatu yang membawa kita melampaui diri kita dan keadaan saat ini, dan sesuatu yang membuat perilaku kita bermakna. Kecerdasan spiritual bukan semata-mata hubungan batin antara manusia dengan Tuhan, namun juga dapat dibuktikan secara ilmiah. SQ seseorang tidak bersifat mutlak, melainkan dapat diasah dan ditingkatkan.
Pada dasarnya, manusia merupakan mahluk spiritual. Itulah sebabnya manusia memiliki kemampuan dan sering terdorong oleh kebutuhannya untuk menanyakan hal-hal pokok dan mendasar, seperti “Apakah makna kehidupan yang sebenarnya?” “Kemanakah saya setelah meninggal dunia?” dan lain-lain (Nafis, 2004). Kutipan di atas menunjukkan bahwa kebahagiaan dan ketenangan jiwa tidak selalu berhubungan dengan kemajuan ekonomi, ilmu pengetahuan, maupun teknologi.
Sebaliknya, mereka yang mementingkan keberhasilan di jalan “vertikal” cenderung berpikir bahwa kesuksesan di dunia dapat dengan mudah ‘dimarginalkan’. Hasilnya, mereka unggul dalam kekhusyukan zikir namun menjadi kalah dalam percaturan ekonomi, ilmu pengetahuan, sosial, politik dan perdagangan di area “horizontal”. Maka dari itu, diperlukan keseimbangan antara pemikiran alam kebendaan dan kekuatan spiritual.
Kecerdasan spiritual dapat diperoleh melalui jalan-jalan yang berkaitan dengan integritas diri, penghormatan (komitmen) pada hidup, dan penyebaran kasih sayang dan cinta. Hal-hal tersebut tidak berkaitan langsung dengan ritual agama. Bukan berarti ritual itu tidak penting, namun butuh kesadaran dan pembelajaran lebih lanjut untuk kemudian mengenal hakikat dari ibadah itu sendiri. Jangan sampai kita memperdebatkan perihal ritual suatu ibadah dan berujung pada perpecahan. Alangkah indahnya apabila tercipta suatu masyarakat yang mempunyai toleransi tinggi terhadap suatu ritual, namun tetap memegang teguh makna hakiki dari ibadah itu sendiri.
Dengan demikian berarti orang yang cerdas secara spiritual adalah orang yang mampu mengaktualisasikan nilai-nilai ilahiah sebagai manifestasi dari aktifitasnya dalam kehidupan sehari-hari dan berupaya mempertahankan keselarasan dalam kehidupannya, sebagai wujud dari pengalamannya terhadap tuntutan fitrahnya sebagai makhluk yang memiliki ketergantungan terhadap kekuatan yang berada diluar jangkauan dirinya yaitu Sang Maha Pencipta. (Agustian, 2006)
1. Ciri-ciri Kecerdasan Spiritual
Roberts A. Emmons sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat, ada lima ciri orang yang cerdas secara spiritual, yaitu:
  1. Kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material.
  2. Kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak.
  3. Kemampuan untuk mensakralkan pengalaman sehari-hari.
  4. Kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber spiritual untuk menyelesaikan masalah.
  5. Kemampuan untuk berbuat baik, yaitu memiliki rasa kasih yang tinggi pada sesama makhluk Tuhan seperti memberi maaf, bersyukur atau mengungkapkan terima kasih, bersikap rendah hati, menunjukkan kasih sayang dan kearifan.
Menurut Marsha Sinetar, pribadi yang memiliki kecerdasan spiritual mempunyai kesadaran diri yang mendalam, intuisi dan kekuatan “otoritas” tinggi, kecenderungan merasakan “pengalaman puncak” dan bakat-bakat “estetis”.          (Susanti, 2006).

2. Indikator Kecerdasan Spiritual
            Menurut Danah Zohar, kecerdasan spiritual dapat diukur melalui beberapa indikator, yaitu:
a.       Siswa mampu bersikap fleksibel
b.      Mempunyai tingkat kesadaran yang tinggi.
c.       Mempunyai kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan.
d.      Mampu untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit.
e.       Mempunyai kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai.
f.       Memiliki rasa enggan untuk melakukan kerugian yang tidak perlu.
g.      Memiliki kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal.
h.      Memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, seperti bertanya “mengapa?” atau “bagaimana?”
i.        Memiliki kemudahan untuk bekerja dalam bidang mandiri.

3. Fungsi Kecerdasan Spiritual
Beberapa fungsi kecerdasan spiritual antara lain:
  1. Mendidik hati menjadi benar, karena pendidikan sejati adalah pendidikan hati yang tidak saja meningkatkan segi-segi kognitif intelektual, tetapi juga segi-segi kualitas psikomotorik dan kesadaran spiritual yang reflektif dalam kehidupan sehari-hari.
  2. Mengantarkan kepada kesuksesan. Selama perbuatan kita sesuai dengan kata hati, maka akan muncul kepuasan dan berakhir dengan kesuksesan yang gemilang.
  3. Menguatkan hubungan manusia dengan Tuhan. Allah akan menjadikan hati seseorang cenderung kepada-Nya. Jadi, kondisi spiritual seseorang berpengaruh terhadap kemudahannya menjalani kehidupan.
  4. Membimbing kita untuk meraih kebahagiaan hidup hakiki, yaitu cinta kepada Tuhan, doa, dan kebajikan.
  5. Mengarahkan hidup kita agar menjadi lebih bermakna. Zohar dan Marshall (2000) menggambarkan orang yang memiliki SQ sebagai orang yang mampu bersikap fleksibel, mampu beradaptasi secara spontan dan aktif, mempunyai kesadaran diri tinggi, dan memiliki visi dan prinsip nilai.
  6. Dalam pengambilan keputusan, cenderung akan mengambil keputusan yang terbaik, yaitu keputusan spiritual. Dimana seseorang akan mengedepankan sifat-sifat Ilahiah dan mengikuti suara hati.
  7. Landasan yang diperlukan untuk mengefektifkan fungsi IQ dan EQ, karena kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan tertinggi manusia. Artinya, memang penting perannya dalam kehidupan manusia, yaitu agar dapat memanfaatkan teknologi demi efisiensi dan efektifitas serta meningkatkan kinerja. (Susanti, 2006).

B. Pengertian Persepsi
Dunia ini dipenuhi dengan objek dan peristiwa yang mengombinasi dan menciptakan arus informasi. Meskipun sebagian dari informasi itu tidaklah berhubungan langsung dengan rutinitas kita sehari-hari, tetapi informasi tersebut merupakan informasi yang sangat penting. Untuk memanfaatkan informasi tersebut dengan efektif, manusia dianugerahi “alat” yang dapat menangkap serta menerjemahkan sebuah informasi ke dalam istilah pada sistem saraf, yaitu indera. Indera kemudian membuat stimulus terhadap suatu objek yang disebut persepsi.
Cara kerja persepsi didahului oleh penginderaan. Alat indera merupakan penghubung antara individu dengan dunia luar. Persepsi merupakan stimulus yang diindera oleh individu, diorganisasikan kemudian diinterpretasikan sehingga individu menyadari dan mengerti tentang apa yang diindera. Dengan kata lain, persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi kedalam otak manusia. Persepsi merupakan keadaan terintegrasi dari individu terhadap stimulus yang diterimanya. Apa yang ada dalam diri individu, pikiran, perasaan, dan pengalaman individu akan ikut aktif berpengaruh dalam proses persepsi.
Otak merupakan pemeran utama dalam pembentukan persepsi. Untuk memahami persepsi secara keseluruhan, kita harus terlebih dahulu memahami bentuk dan sifat dari suatu objek. Untuk menggambarkan bagaimana persepsi kita terhadap suatu objek, kita harus mampu mendeteksi, mengelompokkan, dan mengenali objek tersebut dengan indera. (Sekuler, 2002: 1)
Gibson (1989) dalam buku Perilaku dan Manajemen Organisasi, memberikan definisi persepsi sebagai proses kognitif yang dipergunakan oleh individu untuk menafsirkan dan memahami dunia sekitarnya. Ia juga menjelaskan bahwa persepsi merupakan proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh individu. Oleh karena itu, setiap individu dapat memberikan arti kepada stimulus secara berbeda meskipun objeknya sama. Cara individu melihat situasi tertentu seringkali lebih penting daripada situasi itu sendiri. (http://www.duniapsikologi.com)
Persepsi menghubungkan kita dengan dunia, dan membentuk pengetahuan tentang dunia. Jika kita mempunyai pengetahuan yang luas, maka akan mudah untuk membedakan yang baik dan yang buruk, yang aman dan yang berbahaya, serta memprediksikan konsekuensi dari aksi yang kita lakukan. Sebuah persepsi tidak harus menunjukkan pandangan yang sempurna terhadap suatu objek, namun pandangan yang berguna, yang dapat mengarahkan kita untuk bertindak secara efektif. (Sekuler, 2002: 2)

C. Pengertian Disiplin
            Kata disiplin berasal dari bahasa Inggris yaitu disciple. Namun, akar kata tersebut berasal dari bahasa Latin yaitu discipulus. Dari beberapa buku, didapat beberapa definisi disiplin yang dirumuskan oleh para ahli, diantaranya sebagai berikut:
a) Training that develops self control, character, or orderliness and efficiency, b) strict control to enforce obedience, and c) the result of such training or control; specifically a self control or orderly conduct.
(Battleheim, 1988: 98 dalam Dantjie, 1990)

…One who learn from voluntary follows a leader.
(Hurlock, 1980: 251 dalam Dantjie, 1990)
The popular concept of discipline is synonymous with punishment …discipline is used only when the child violates the rules and regulation set down by parents, teachers, or adults in charge of affairs of community in which the child lives.
(Hurlock, 1981: 392 dalam Dantjie, 1990)
Ada pula pendapat yang mengungkapkan disiplin sebagai suatu sikap mental untuk mematuhi aturan atau tata tertib, dan mengendalikan diri, menyesuaikan diri terhadap aturan-aturan yang berasal dari luar sekalipun yang mengekang, dan menunjukkan kesadaran akan tanggung jawab terhadap tugas dan kewajiban.
Dari pengertian disiplin yang berbeda-beda dapat disimpulkan bahwa secara umum, disiplin adalah kepatuhan pada peraturan yang telah ditetapkan. Sedangkan pengertian disiplin sekolah adalah kepatuhan siswa pada peraturan yang telah ditetapkan oleh guru atau orang dewasa yang berkuasa di sekolah tempat dia berada. (Haryati, 2004)
1.      Fungsi Disiplin
Beberapa fungsi disiplin menurut Tulus Tu’u (2004: 38) antara lain:
a.       Menata kehidupan bersama. Fungsi disiplin adalah mengatur tata kehidupan manusia, dalam kelompok tertentu atau dalam masyarakat.
b.      Membangun kepribadian. Lingkungan yang berdisiplin baik sangat berpengaruh terhadap kepribadian seseorang.
c.       Melatih kepribadian. Sikap dan perilaku yang baik tidak serta-merta terbentuk dalam waktu singkat, namun membutuhkan proses pelatihan dalam waktu yang lama.
d.   Menciptakan lingkungan yang kondusif. Maka dari itu, dibutuhkan aturan dan tata tertib dalam suatu lingkungan yang wajib dipatuhi oleh anggotanya.

2.      Indikator Disiplin
Berikut adalah indikator disiplin dalam belajar di sekolah:
a.       Patuh terhadap aturan sekolah atau lembaga pendidikan.
b.      Tidak menyuruh orang untuk bekerja demi dirinya.
c.       Tepat waktu dalam belajar mengajar.
d.      Menerima, menganalisis dan mengkaji berbagai pembaharuan pendidikan.
e.       Berusaha menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi pendidikan yang ada.
f.       Menguasai diri dan instrospeksi. (http://id.shvoong.com)

Berkaitan dengan judul penelitian ini, maka akan dijelaskan mengenai disiplin dalam belajar di sekolah. Pengertian disiplin dalam belajar di sekolah adalah keseluruhan sikap dan perbuatan siswa yang timbul dari kesadaran dirinya untuk belajar, dengan menaati dan melaksanakan sebagai siswa dalam berbagai kegiatan belajarnya di sekolah, sesuai dengan peraturan yang ada, yang didukung oleh adanya kemampuan guru, fasilitas, sarana dan prasarana sekolah.
Perilaku disiplin belajar siswa di sekolah dapat dibedakan menjadi empat macam, ialah:
  1. Disiplin siswa dalam masuk sekolah.
  2. Disiplin siswa dalam mengerjakan tugas.
  3. Disiplin siswa dalam mengikuti pelajaran di sekolah.
  4. Disiplin siswa dalam menaati tata tertib di sekolah. (Susilowati, 2005)

D. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan teori yang didapat tentang kecerdasan spiritual, persepsi dan disiplin, hipotesis sementara penelitian ini adalah kecerdasan spiritual berpengaruh terhadap persepsi dan perilaku disiplin siswa.




BAB III
METODE PENELITIAN

A.    Desain Penelitian
Penelitian dengan judul “Pengaruh Kecerdasan Spiritual Terhadap Persepsi dan Perilaku Disiplin Siswa SMA Lazuardi GIS Angkatan 11 dan 12” ini menggunakan metode kuantitatif deskriptif dengan penyebaran kuisioner kepada 32 sampel yang dilakukan pada tanggal 22 Oktober 2012.

B.     Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dari penelitian ini adalah siswa SMA Lazuardi GIS angkatan 11 dan 12. Sedangkan sampel penelitiannya adalah 16 siswa dari angkatan 11 dan 16 siswa dari angkatan 12.
Seluruh sampel dibagi menjadi dua kategori, yaitu kategori A, terdiri dari 16 siswa yang berdasarkan pantauan guru dan teman-teman memiliki kedisiplinan aktivitas spiritual yang cukup tinggi, dan kategori B, terdiri dari 16 siswa yang memiliki kedisiplinan aktivitas spiritual yang cenderung di batas rata-rata.
Dikatakan memiliki kedisiplinan aktivitas spiritual cukup tinggi apabila dalam kesehariannya siswa menunjukkan sikap sopan, rendah hati, halus dalam bertutur kata, pergaulannya terjaga, rajin dalam pelajaran akademik, dan taat dalam beribadah melebihi siswa lainnya.

C.     Instrumentasi dan Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode kuisioner (penyebaran angket). Sampel dari penelitian ini adalah 16 siswa dari angkatan 11 dan 16 siswa dari angkatan 12. Pemilihan sampel dilakukan berdasarkan tingkat kedisiplinan aktivitas spiritual siswa yang terlihat dari kegiatan dan perilaku sehari-hari. Sampel yang seluruhnya berjumlah 32 terdiri dari 16 siswa dengan tingkat kedispilinan aktivitas spiritual yang cukup tinggi, dan 16 siswa dengan tingkat kedisplinan aktivitas spiritual yang cenderung di batas rata-rata. Data didapatkan dari pantauan keseharian siswa oleh sejumlah guru dan teman. Adapun data yang diambil dari masing-masing sampel adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Kisi-Kisi Instrumen Penelitian
No.
Indikator
Jumlah Soal
Nomor Soal
1.
Siswa mampu bersikap fleksibel.
3
1, 2, 3
2.
Mempunyai tingkat kesadaran yang tinggi.
3
15, 16, 19
3.
Mempunyai kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan.
3
6, 23, 24
4.
Mampu untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit.
3
20, 21, 22
5.
Mempunyai kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai.
3
7, 14, 18
6.
Memiliki rasa enggan untuk melakukan kerugian yang tidak perlu.
3
4, 8, 10
7.
Memiliki kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal.
3
9, 25, 27
8.
Memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, seperti bertanya “mengapa?” atau “bagaimana?”
3
11, 12, 17
9.
Memiliki kemudahan untuk bekerja dalam bidang mandiri.
3
5, 13, 26

Indikator kecerdasan spiritual yang dikemukakan oleh Danah Zohar ini menjadi acuan dalam pembuatan angket. Masing-masing indikator dikembangkan menjadi tiga pertanyaan yang juga dikaitkan dengan persepsi dan indikator kedisiplinan.


D.    Prosedur Penelitian
Berikut ini akan diuraikan prosedur kerja dari penelitian:
1.      Membuat 27 pertanyaan dari 9 indikator kecerdasan spiritual yang dikemukakan oleh Danah Zohar dan dihubungkan dengan persepsi serta indikator kedisiplinan.
2.      Melakukan observasi perihal siswa yang akan dijadikan sampel.
3.      Membagi responden menjadi dua kategori, yaitu kategori A untuk 16 siswa yang mempunyai kedisiplinan aktivias spiritual yang cukup tinggi, dan kategori B untuk 16 siswa yang mempunyai kedisplinan aktivitas spiritual yang cenderung di batas rata-rata.
4.      Menyebarkan angket yang berisi 27 pertanyaan seputar hubungan kecerdasan spiritual dengan persepsi siswa terhadap kedisiplinan.
5.      Menghitung persentase dari seluruh data yang telah terkumpul.
6.      Menganalisis data dan mengaitkannya dengan teori yang telah didapat.

E.     Analisis Data
Penelitian ini dianalisis dengan cara menghubungkan indikator kecerdasan spiritual dengan indikator disiplin yang dirubah ke dalam bentuk pertanyaan. Setelah data diperoleh, akan dianalisis sesuai aturan berikut:
1.      Ya
2.      Ya
3.      Tidak
4.      Ya
5.      Tidak
6.      Tidak
7.      Ya
8.      Tidak
9.      Ya
10.  Tidak
11.  Ya
12.  Ya
13.  Ya
14.  Tidak
15.  Ya
16.  Ya
17.  Tidak
18.  Ya
19.  Ya
20.  Ya
21.  Tidak
22.  Ya
23.  Tidak
24.  Tidak
25.  Tidak
26.  Tidak
27.  Ya












BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.    Hasil Penelitian
Setelah melakukan penelitian, data yang telah diperoleh dibagi menjadi dua tabel, yaitu untuk 16 siswa pertama yang memiliki kedisiplinan aktivitas spiritual cukup tinggi (kategori A) dan 16 siswa yang memiliki kedisiplinan aktivitas spiritual yang cenderung di batas rata-rata (kategori B).  Hasil persentase dari data yang didapat adalah sebagai berikut:

Text Box: 15Tabel 2. Hasil Persentase Jawaban Kategori A
No.
Indikator
Ya
Tidak
1.
Saya mudah beradaptasi di lingkungan baru.
 62,5%
 37,5%
2.
Saya menerima dan setuju dengan peraturan baru yang dibuat sekolah.
93,75%
6,25%
3.
Saya sulit mempresentasikan sesuatu secara spontan
56,25%
43,75%
4.
Saya cenderung menerima suatu peraturan meski berat, dari pada melanggarnya
93,75%
6,25%
5.
Saya cenderung menunggu bantuan dari orang lain untuk bangkit dari keterpurukan.
25%
75%
6.
Saya tidak suka apabila sekolah menambah peraturan.
56,25%
43,75%
7.
Saya berusaha untuk fokus pada apa yang menjadi cita-cita saya.
93,75%
6,25%
8.
Saya lebih suka disebut ‘trouble maker’ dari pada ‘nerd
0%
100%
9.
Saya menyadari adanya hubungan erat antara kedisiplinan dan kesuksesan di masa depan.
100%
0%
10.
Saya secara sengaja melakukan pelanggaran karena hal tersebut mengasyikkan.
6,25%
93,75%
11.
Saya selalu bertanya apabila tidak mengerti terhadap suatu hal.
81,25%
18,75%
12.
Saya selalu ingin mengetahui apa tujuan dari peraturan yang dibuat sekolah.
100%
0%
13.
Saya memiliki kemauan untuk belajar sendiri tanpa diperintah orang tua.
75%
25%
14.
Saya lebih suka menjalani hidup yang mengalir sesuai kemana arus membawa.
25%
75%
15.
Bila melakukan pelanggaran, saya sadar akan kesalahan saya dan siap menerima konsekuensi.
93,75%
6,25%
16.
Saya selalu menempatkan barang pada tempatnya.
50%
50%
17.
Saya akan menjalani peraturan meskipun saya tidak tahu manfaatnya.
43,75%
56,25%
18.
Saya mempunyai seseorang atau sesuatu yang memotivasi saya.
93,75%
6,25%
19.
Saya selalu belajar dari kesalahan di masa lalu.
93,75%
6,25%
20.
Saya cenderung melawan rasa malas demi mengerjakan tugas sebelum deadline.
81,25%
18,75%
21.
Saya sangat merasa down apabila ada yang mengkritik hasil kerja saya.
37,5%
62,5%
22.
Saya tetap masuk sekolah walaupun kondisi badan sedikit tidak fit.
87,5%
12,5%
23.
Saya lebih baik lari dari pada harus menghadapi masalah berat di hadapan saya
0%
100%
24.
Saya menunda tugas sekolah sampai mendekati deadline demi bersantai-santai.
18,75%
81,25%
25.
Menurut saya, kedisiplinan tidak ada hubungannya dengan prestasi akademik.
18,75%
81,25%
26.
Saya suka bangun siang, meski tahu nantinya akan dihukum bila terlambat masuk sekolah.
6,25%
93,75%
27.
Menurut saya, kecerdasan spiritual seseorang berpengaruh pada tingkat kedisplinannya.
100%
0%


























































Tabel 3. Hasil Persentase Jawaban Kategori B
No.
Indikator
Ya
Tidak
1.
Saya mudah beradaptasi di lingkungan baru.
62,5%
37,5%
2.
Saya menerima dan setuju dengan peraturan baru yang dibuat sekolah.
56,25%
43.75%
3.
Saya sulit mempresentasikan sesuatu secara spontan
68,75%
31,25%
4.
Saya cenderung menerima suatu peraturan meski berat, dari pada melanggarnya
50%
50%
5.
Saya cenderung menunggu bantuan dari orang lain untuk bangkit dari keterpurukan.
31,25%
68,75%
6.
Saya tidak suka apabila sekolah menambah peraturan.
81,25%
18,75%
7.
Saya berusaha untuk fokus pada apa yang menjadi cita-cita saya.
100%
0%
8.
Saya lebih suka disebut ‘trouble maker’ dari pada ‘nerd
37,5%
62,5%
9.
Saya menyadari adanya hubungan erat antara kedisiplinan dan kesuksesan di masa depan.
75%
25%
10.
Saya secara sengaja melakukan pelanggaran karena hal tersebut mengasyikkan.
25%
75%
11.
Saya selalu bertanya apabila tidak mengerti terhadap suatu hal.
81,25%
18,75%
12.
Saya selalu ingin mengetahui apa tujuan dari peraturan yang dibuat sekolah.
62,5%
37,5%
13.
Saya memiliki kemauan untuk belajar sendiri tanpa diperintah orang tua.
62,5%
37,5%
14.
Saya lebih suka menjalani hidup yang mengalir sesuai kemana arus membawa.
31,25%
68,75%
15.
Bila melakukan pelanggaran, saya sadar akan kesalahan saya dan siap menerima konsekuensi.
93,75%
6,25%
16.
Saya selalu menempatkan barang pada tempatnya.
50%
50%
17.
Saya akan menjalani peraturan meskipun saya tidak tahu manfaatnya.
18,75%
81,25%
18.
Saya mempunyai seseorang atau sesuatu yang memotivasi saya.
93,75%
6,25%
19.
Saya selalu belajar dari kesalahan di masa lalu.
87,5%
12,5%
20.
Saya cenderung melawan rasa malas demi mengerjakan tugas sebelum deadline.
50%
50%
21.
Saya sangat merasa down apabila ada yang mengkritik hasil kerja saya.
25%
75%
22.
Saya tetap masuk sekolah walaupun kondisi badan sedikit tidak fit.
68,75%
31,25%
23.
Saya lebih baik lari dari pada harus menghadapi masalah berat di hadapan saya
18,75%
81,25%
24.
Saya menunda tugas sekolah sampai mendekati deadline demi bersantai-santai.
43,75%
56,25%
25.
Menurut saya, kedisiplinan tidak ada hubungannya dengan prestasi akademik.
31,25%
68,75%
26.
Saya suka bangun siang, meski tahu nantinya akan dihukum bila terlambat masuk sekolah.
31,255
68,75%
27.
Menurut saya, kecerdasan spiritual seseorang berpengaruh pada tingkat kedisplinannya.
93,5%
6,25%
















































Hasil persentase pada tabel di atas didapat dari perhitungan jumlah siswa yang memilih jawaban "Ya” atau “Tidak” sesuai aturan indikator, dibagi jumlah keseluruhan yaitu 16 siswa untuk masing-masing tabel, dikali 100%. Selanjutnya akan dibahas satu per satu mengenai hasil akhir penelitian berdasarkan teori yang telah didapat.
Pertanyaan nomor 1, 2 dan 3 adalah pengembangan dari indikator “Siswa mampu bersikap fleksibel”. Rata-rata responden yang memilih jawaban sesuai aturan indikator dalam tabel A adalah 66,7% sementara dalam tabel B 50%. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan siswa kategori A dalam bersikap fleksibel lebih tinggi dibandingkan dengan siswa kategori B.
Pertanyaan nomor 15, 16, dan 19 merupakan pengembangan dari indikator “Siswa mempunyai tingkat kesadaran yang tinggi”. Rata-rata responden yang memilih jawaban sesuai aturan indikator dalam tabel A sebanyak 79% sementara dalam tabel B sebanyak 77%. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat kesadaran yang dimiliki siswa kategori A lebih tinggi dibandingkan siswa kategori B.
Pertanyaan nomor 6, 23 dan 24 merupakan pengembangan dari indikator “Siswa mempunyai kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan”. Rata-rata responden yang memilih jawaban sesuai aturan indikator dalam tabel A sebanyak 75% sementara dalam tabel B sebanyak 52%. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan yang dimiliki siswa kategori A lebih tinggi dibandingkan siswa kategori B.
Pertanyaan nomor 20, 21 dan 22 merupakan pengembangan dari indikator “Siswa mampu menghadapi dan melampaui rasa sakit”. Rata-rata responden yang memilih jawaban sesuai aturan indikator dalam tabel A sebanyak 77% sementara dalam tabel B sebanyak 64,5%. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan untuk menghadapi dan mempaui rasa sakit yang dimiliki siswa kategori A lebih tinggi dibandingkan siswa kategori B.
Pertanyaan nomor 7, 14 dan 18 merupakan pengembangan dari indikator “Siswa mempunyai kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai”. Rata-rata responden yang memilih jawaban sesuai aturan indikator dalam tabel A sebanyak 87,5% begitu juga dengan siswa kategori B. Hal tersebut menunjukkan bahwa visi dan nilai yang menjadi kualitas hidup siswa kategori A sama dengan siswa kategori B.
Pertanyaan nomor 4, 8 dan 10 merupakan pengembangan dari indikator “Siswa memiliki rasa enggan untuk melakukan kerugian yang tidak perlu”. Rata-rata responden yang memilih jawaban sesuai aturan indikator dalam tabel A sebanyak 95,3% sementara dalam tabel B sebanyak 62,5%. Hal tersebut menunjukkan bahwa rasa enggan untuk melakukan kerugian yang dimiliki siswa kategori A lebih tinggi dibandingkan dengan siswa kategori B. Perbedaannya terlihat cukup signifikan.
Pertanyaan nomor 9, 25 dan 27 merupakan pengembangan dari indikator “Siswa memiliki kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal (pandangan holistik)”. Rata-rata responden yang memilih jawaban sesuai aturan indikator dalam tabel A sebanyak 93,7% sementara dalam tabel B sebanyak 79%. Hal tersebut menunjukkan bahwa kecenderungan berpikir holistik siswa kategori A lebih tinggi dibandingkan siswa kategori B.
Pertanyaan nomor 11, 12 dan 17 merupakan pengembangan dari indikator “Siswa memiliki rasa ingin tahu yang tinggi”. Rata-rata responden yang memilih jawaban sesuai aturan indikator dalam tabel A sebanyak 79% sementara dalam tabel B sebanyak 75%. Hal tersebut menunjukkan bahwa rasa ingin tahu yang dimiliki siswa kategori A lebih tinggi dibandingkan siswa kategori B.
Pertanyaan nomor 5, 13 dan 26 merupakan pengembangan dari indikator “Siswa memiliki kemudahan untuk bekerja dalam bidang mandiri”. Rata-rata responden yang memilih jawaban sesuai aturan indikator dalam tabel A sebanyak 81,3% sementara dalam tabel B sebanyak 66,7%. Hal tersebut menunjukkan bahwa siswa kategori A lebih mudah untuk bekerja dalam bidang mandiri dibandingkan dengan siswa kategori B.


B.     Pembahasan
Berdasarkan hasil dari perhitungan data diatas, dapat dilihat bahwa secara keseluruhan, siswa kategori A memiliki tingkat kedisiplinan yang lebih tinggi dari siswa kategori B. Hal tersebut dapat dilihat dari rata-rata jawaban siswa kategori A yang kecenderungan memenuhi indikatornya lebih tinggi. Di bawah ini akan dibahas mengenai hubungan antara perilaku disiplin siswa berdasarkan jawaban angket dengan indikator kecerdasan spiritual.

Tabel 4. Rata-Rata Hasil Penelitian
No.
Indikator
Kategori A
Kategori B
1.
Bersikap fleksibel dalam menjalankan disiplin.
66,7%
50%
2.
Tingkat kesadaran tinggi.
79%
77%
3.
Menghadapi dan memanfaatkan penderitaan
75%
52%
4.
Menghadapi dan melampaui rasa sakit.
77%
64,5%
5.
Mempunyai visi dan nilai.
87,5%
87,5%
6.
Enggan untuk melakukan kerugian.
95,3%
62,5%
7.
Berpikiran holistik.
93,7%
79%
8.
Memiliki rasa ingin tahu yang tinggi.
79%
75%
9.
Memiliki kemudahan untuk bekerja dalam bidang mandiri
81,3%
66,7%

            Dari indikator pertama, tabel diatas menunjukkan sebanyak 66,7% siswa kategori A dapat bersikap fleksibel dalam menjalankan disiplin di sekolah, sementara kategori B 50%. Hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa siswa dengan kecerdasan spiritual yang cukup tinggi akan lebih mudah untuk bersikap fleksibel, termasuk dalam menjalani disiplin dan aturan sekolah. Apabila siswa dapat bersikap fleksibel, maka akan mudah untuk beradaptasi di lingkungan baru dan menerima peraturan yang berlaku di lingkungan tersebut.
Dari indikator kedua, tabel diatas menunjukkan sebanyak 79% siswa kategori A memiliki kesadaran diri yang tinggi, sementara kategori B sebanyak 77%. Hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa siswa dengan kecerdasan spiritual yang cukup tinggi memiliki tingkat kesadaran diri yang tinggi pula. Apabila siswa memiliki kesadaran diri yang tinggi, maka akan mudah baginya untuk belajar dari kesalahan di masa lalu dan tidak mengulang kembali. Juga akan mudah baginya untuk membedakan hal yang baik dan buruk.
Dari indikator ketiga, tabel diatas menunjukkan sebanyak 75% siswa kategori A mampu menghadapi dan memanfaatkan penderitaan, sementara dalam kategori B sebanyak 52%. Data ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa siswa dengan kecerdasan spiritual yang cukup tinggi akan mampu menghadapi dan memanfaatkan penderitaan, termasuk aturan dan kedisiplinan yang diterapkan sekolah. Dapat dilihat adanya perbedaan yang cukup signifikan antara kategori A dan B, yaitu sebanyak 23%. Hal itu disebabkan oleh banyaknya siswa kategori B (81,25%) yang menyatakan ketidaksukaannya terhadap penambahan peraturan oleh sekolah. Berkaitan dengan disiplin, memang tidak mudah untuk menjalani sebuah peraturan, namun perlu pembiasaan karena dibalik semua peraturan, pasti ada tujuan yang bermanfaat.
Dari indikator keempat, tabel diatas menunjukkan sebanyak 77% siswa kategori A mampu menghadapi dan melampaui rasa sakit, sementara dalam kategori B sebanyak 64,5%. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa siswa dengan kecerdasan spiritual yang cukup tinggi akan mampu menghadapi dan melampaui rasa sakit. Apabila siswa mampu melakukan hal tersebut, akan mudah baginya untuk mengatasi rasa sakit, bukan hanya fisik, tapi juga yang non-fisik seperti mental.
Dari indikator kelima, tabel diatas menunjukkan sebanyak 87,5% siswa kategori A mempunyai kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai (dalam hal ini berkaitan dengan motivasi dan cita-cita), begitu juga dengan siswa kategori B. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam hal visi, nilai, dan motivasi hidup, terdapat persamaan antara kategori A dan B. Apabila hidup seseorang diilhami oleh visi dan nilai, maka akan mudah untuk mencapai apa yang menjadi harapannya. Juga hidupnya tidak terombang-ambing mengikuti arus yang tak tentu arah.
Dari indikator keenam, tabel diatas menunjukkan sebanyak 95,3% siswa kategori A enggan untuk melakukan kerugian yang tidak perlu, sementara dalam kategori B sebanyak 62,5%. Dapat dilihat adanya perbedaan yang cukup signifikan antara kategori A dan B yaitu sebanyak 32,8%. Hal tersebut terjadi karena hanya 50% siswa kategori B yang menerima sebuah peraturan baru, serta tidak adanya siswa kategori A yang lebih memilih disebut sebagai ‘trouble maker’ dari pada ‘nerd’. Fakta ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa siswa dengan kecerdasan spiritual yang cukup tinggi memiliki rasa enggan untuk melakukan kerugian yang tidak perlu. Siswa yang memiliki pola pikir seperti itu cenderung akan selalu mematuhi peraturan yang ada. Ia tahu mana hal yang berguna dan mana yang merugikan.
Dari indikator ketujuh, tabel diatas menunjukkan sebanyak 93,7% siswa kategori A mampu berpikiran holistik, sementara dalam kategori B sebanyak 79%. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa siswa dengan kecerdasan spiritual yang cukup tinggi akan mampu berpikiran holistik, yang dalam kuisioner, pertanyaan mengarah kepada hubungan antara kedisiplinan dengan masa depan siswa. Apabila siswa mampu berpikiran holistik, akan mudah baginya untuk melihat sisi lain dari sebuah peraturan, seperti manfaatnya.
Dari indikator kedelapan, tabel diatas menunjukkan sebanyak 79% siswa kategori A memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, sementara dalam kategori B sebanyak 75%. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa siswa dengan kecerdasan spiritual yang cukup tinggi akan semakin memiliki rasa ingin tahu terhadap suatu hal. Siswa yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi tidak akan semata-mata menjalankan, tapi ia juga mengetahui tujuan serta manfaat dari sebuah peraturan. Dengan demikian, akan mudah baginya untuk menaati peraturan tersebut.
Dari indikator kesembilan, tabel diatas menunjukkan sebanyak 81,3% siswa kategori A mampu bekerja dalam bidang mandiri, sementara dalam kategori B sebanyak 66,7%. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa siswa dengan kecerdasan spiritual yang cukup tinggi akan mampu bekerja dalam bidang mandiri. Ia tidak akan kesulitan apabila dihadapkan pada suatu kondisi yang mengharuskannya hidup disiplin dan mandiri.
Dapat dilihat bahwa hampir di seluruh indikator, siswa kategori A memiliki persentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa kategori B. Hal tersebut membuktikan bahwa kecerdasan spiritual seseorang berpengaruh pada persepsi dan perilaku disiplinnya.


KESIMPULAN DAN SARAN

A.    Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah kecerdasan spiritual berpengaruh terhadap persepsi siswa tentang kedisiplinan. Persepsi tersebut juga mempengaruhi perilaku disiplin siswa di sekolah.

B.       Saran
Saran yang dapat diberikan oleh penulis adalah:
1.      Bagi pihak sekolah, disarankan untuk terus mengasah kecerdasan spiritual siswa dan menjunjung tinggi nilai kedisiplinan.
2.      Bagi peneliti selanjutnya, disarankan untuk meneliti tentang peranan kecerdasan spiritual terhadap aspek selain kedisiplinan yang dapat berguna bagi masyarakat luas. Juga disarankan untuk menyebarkan kuisioner kepada orang tua untuk meneliti tentang penerapan nilai-nilai spiritual di lingkungan keluarga.

DAFTAR PUSTAKA

Agustian, Ary Ginanjar. 2006. ESQ Emotional Spiritual Quotient. Jakarta: Penerbit Arga.
Bahasa, Pusat. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Dunia Psikologi. 2012. Persepsi: Pengertian, Definisi dan Faktor yang Mempengaruhi. http://www.duniapsikologi.com/persepsi-pengertian-definisi-dan-faktor-yang-mempengaruhi/ diakses pada tanggal 2 Oktober 2012 pukul 17.46 WIB
Haryati, Yanthi. 2004. Hubungan Antara Kecerdasan Emosi dan Pelanggaran Disiplin Sekolah Pada Remaja. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Nafis, M. Wahyuni. 2006. 9 Jalan Pintar Emosi dan Spiritual. Jakarta: Penerbit Hikmah.
Sekuler, Robert & Randolph Blake. 2002. Perception. Jakarta: Salemba Empat.
SMP Lazuardi  Insan Kamil. Indikator Kecerdasan Spiritual Pada Siswa. http://lazuardiinsankamil.blogspot.com/2010/11 /indikator-kecerdasan-spiritual-pada.html. Diakses pada tanggal 27 September 2012 pukul 20.06 WIB.
Susanti, Hendra. 2006. Peranan Orang Tua Dalam Membina Kecerdasan Spiritual Anak Dalam Keluarga. (http://www.scribd.com/doc/28251068/11482349-Membina-Kecerdasan-Spiritual-Anak diakses pada tanggal 19 September 2012)
Susilowati, Harning Setyo. 2005. Pengaruh Disiplin Belajar, Lingkungan keluarga dan Lingkungan Sekolah Terhadap Prestasi Belajar Siswa Kelas X Semester 1 Tahun Ajaran 2004-2005 SMAN 1 Gemolong Kabupaten Sragen. (http://dc352.4shared.com/doc/kCjC9VL3/preview.html diakses pada tanggal 18 September 2012)


No comments:

Post a Comment